Selasa, 28 Oktober 2008

terapi dengan Gamelan

Di Eropa, Gamelan Diajarkan untuk Menanamkan Budi Pekerti May 13, '08 10:54 AM
for everyone


Di Eropa, Gamelan Diajarkan untuk Menanamkan Budi Pekerti

Dibandingkan dengan wayang, gamelan Jawa sudah jauh lebih mendunia. Di Amerika saja terdapat tidak kurang dari 300 set gamelan, dengan ratusan grup memainkannya. Di Paris ada 15 grup, sementara di London kira-kira 20 grup gamelan. Kegunaannya pun tak terbatas untuk seni, tetapi di Eropa malah dipakai untuk terapi. Australia? Terbilang banyak, ada di Sydney, New England, Perth, Adelaide, Armidale. Di Tokyo ada 30 grup. Di Eropa Timur, menurut pemusik tradisi Rahayu Supanggah (56), sekitar sepuluh tahun terakhir ini mulai bermunculan di Hongaria, Bulgaria, Ceko, dan Slowakia.


”Di negara maju, yang saya duga dan rasakan, gamelan punya potensi luar biasa untuk digarap. Alatnya menarik, sumber bunyi luar biasa, sifat keterbukaan luar biasa jika dibandingkan dengan musik-musik Barat, dan penggamelnya tidak ada batasan antara profesional atau amatir,” ungkap Supanggah, Rektor Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Solo yang juga doktor lulusan Sorbonne, Perancis. Menabuh gamelan, lanjut Supanggah, bagi yang pandai, mereka menabuh di deretan depan untuk instrumen rebab (alat gesek) atau gender.

”Tetapi orang baru belajar dua hari saja sudah bisa ikut nabuh ketuk, saron, dan sebagainya di belakang. Tidak ada gap antara yang pandai dan tidak,” kata musisi kelahiran Boyolali tahun 1949 yang besar di konservatori Solo—sejak usia 16 tahunan—ini. Bandingkan dengan musik di Barat, yang harus menguasai teknik dulu, tujuh tahun baru bisa masuk orkes. Pada gamelan, untuk instrumen di deret belakang, baru belajar dua hari pun bisa ikut karawitan. Hal inilah yang membuat gamelan menarik bagi orang-orang Amerika, atau Eropa.

Gamelan di Eropa juga dikembangkan sebagai terapi. Di Paris sudah ada beberapa penjara yang mengembangkan program gamelan untuk terapi bagi penghuni penjara. ”Penghuni penjara (Eropa), yang biasanya individualis dan tak mau mendengarkan orang, melalui gamelan bisa bekerja sama. Mereka menabuh demung, misalnya, harus menguping yang menabuh bonang dan sebagainya. Mereka jadi belajar hidup kolektif,” kata Supanggah yang pada pementasan Megalitikum Kuantum dalam rangka ulang tahun ke-40 harian Kompas di Jakarta Convention Center, Jakarta, tanggal 29-30 Juni 2005 kebagian menggarap gamelan saat mengetengahkan gending Ketawang Puspowarno ciptaan Mangkunegara IV.


Jika gamelan di Jawa hanya untuk ditampilkan di panggung kesenian, di Eropa juga bisa dipergunakan untuk menanamkan budi pekerti, bahkan untuk menahan emosi, keberingasan.”Teman saya (di Eropa) ada yang bisa menangis hanya karena bisa mengusung gamelan berdua. Mengusung bareng barangkali merupakan hal yang tidak luar biasa bagi kita. Tetapi di Eropa ternyata mengangkat berdua itu pun suatu kebahagiaan, yang tak terpikirkan di kita,” kata Supanggah menambahkan.

Keterbukaan gamelan tidak heran membuat musik Jawa ini begitu populer di Amerika, mulai dari Boston, Wesleyan, Yale, New York, yang menjadi pusat-pusat gamelan di East Coast (Pantai Timur) Amerika Serikat, sampai di West Coast—mulai dari Vancouver (pemain gamelan bule di sini hebat-hebat) sampai Seattle, Berkeley, Santa Barbara, dan juga di University of California Los Angeles (UCLA).


Kendang koleksi KBRI Canberra, Australia.


”Di Mills College ada (pemusik kontemporer terkenal yang juga belajar gamelan) John Cage, Lou Harrison. Amerika memang pusat gamelan di luar negeri,” katanya pula. Di Perancis, tidak hanya di Paris, tetapi juga tersebar di Marseille, Aix en Provence, Nice. Di Cairo, Tunisia, dan Israel pun ada. Keterbukaan sifat gamelan juga tercermin saat Supanggah dan kawan-kawan dari Solo membawakan gending klasik Ketawang Puspowarno, yang menurut konsep penggagasnya, Rizaldi Siagian, bagaimana bunyinya jika suatu ketika musik ini dibawakan oleh makhluk lain di bulan yang tak kita tahu?

”Bersama (pemusik pop) Dwiki Dharmawan kami mencoba menafsirkan Puspowarno ini jika ditampilkan makhluk asing. Gending Jawa sifatnya memang terbuka. Bisa dimainkan secara badutan, tayuban, adiluhung, ataupun kontemporer,” kata Supanggah. Musik Indonesia mana pun, termasuk gamelan Jawa, merupakan musik multikultural, terbuka terhadap warna-warna etnis lain di Nusantara seperti musik etnis Nias, Bali, dan Flores. Sebenarnya ini merupakan perkembangan yang tak mengherankan apabila kita merunut ke belakang, setelah masa perubahan selepas kemerdekaan tahun 1945.



”Ada semacam gerakan ’ngemohi keraton’ (menjauhi keraton) karena setelah masa itu keraton dinilai merupakan peninggalan budaya feodal. Keraton dinilai sudah ketinggalan zaman,” kata Supanggah yang pernah berkolaborasi dengan setidaknya tiga dari lima sutradara paling terkenal di dunia saat ini, yakni Peter Brook, Robert Wilson, dan sutradara asal Singapura, Ong Keng Sen. Ketika ikut menggarap musik I La Galigo arahan sutradara Robert Wilson, Supanggah ikut berpentas di teater paling bergengsi di AS, Lincoln Center Festival, di New York. Akibat gerakan ”dekratonisasi” setelah kemerdekaan ini, budaya gamelan Jawa pun tak lagi dipelajari di keraton, tetapi di kantong-kantong budaya yang tersebar.

”Ketawang Puspowarno pun tidak menjadi milik keraton lagi, tetapi milik orang Jawa, milik siapa saja. Kalau di keraton, Ketawang Puspowarno digarap dengan cara keraton, kalau di Banyumas, ya gaya Banyumas. Kecekel (kepegang—Red) orang desa, ya digarap untuk ledhekan atau tayuban (seperti ronggeng—Red). Di Sragen lain lagi,” kata Supanggah. Tidak mengherankan pula apabila periodisasi gamelan Jawa tidak didasarkan pada zaman, tetapi berdasarkan orang. Ada ”School” (menurut istilah Supanggah) Martopangrawit, School Nartosabdo, dan juga tentunya School Rahayu Supanggah.

Kalau dulu Ketawang Puspowarno yang adiluhung isinya ”nulada laku utama” (meneladan perilaku utama), setelah jatuh ke tangan para pengrawit Sragen (kota kecil di timur Solo) bisa berisi ”rondo malam” (perempuan malam), pengayuh becak, dan sebagainya. Ki Tjokrowasito pun menafsirkan sendiri Ketawang Puspowarno untuk direkam, kemudian rekamannya ikut dibawa ke luar angkasa, Voyage tahun 1977, bersama musik-musik ciptaan Johan Sebastian Bach, Ludwig van Beethoven, dan Mozart.

Sumber: edzamusik.blogspot.com

0 komentar:

The Good Weblog

Design by us-ka.blogspot.com 2007-2008