MULTIKULTURALISME DI TENGAH KEMAJEMUKAN MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN (DI) INDONESIA
Demi hidup damai bagi semua, terlarang bagi kita mencita-citakan atau memimpikan – lebih-lebih mengupayakan atau merekayasa – ketunggalan (singularitas), kesatuan, dan keseragaman (homogenitas) masyarakat dan kebudayaan. Tidak ada pilihan lain, kita harus mampu hidup damai di dalam bingkai semangat multikultural(isme), plural(isme), dan heterogen(isme); bukan melakukan penunggalan, penyatuan, dan penyeragaman masyarakat dan kebudayaan (di) Indonesia. Untuk itu, kita harus mampu membangun sekaligus mewujudkan saling pengertian, toleransi, kebersamaan, kerukunan, kerja sama, dan kooperasi di tengah perbedaan-perbedaan multikultural dan plural. Ini tantangan, kebutuhan, tugas, dan agenda yang harus kita kerjakan atau lakukan secara sungguh-sungguh agar kehidupan kita ke depan menjadi lebih baik dan sentosa. Pertanyaannya adalah: Bagaimanakah kita harus atau mampu hidup damai di tengah kemajemukan dan keanekaragaman masyarakat dan kebuda-yaan (di) Indonesia?; Bagaimanakah kita harus membangun saling pengertian, toleransi, kebersamaan, kerukunan, kerja sama, dan kooperasi, dalam bingkai semangat multikultural(isme) dan plural(isme?; Prasyarat-prasyarat apakah yang diperlukan untuk membangun dan memperkuat saling pengertian, toleransi, kebersamaan, kerja sama, dan kooperasi tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tulisan ini “berusaha” menguraikan pikiran konseptual tentang tantangan, kebutuhan, tugas, dan upaya hidup damai di tengah kemajemukan dan keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan (di) Indonesia. Uraian difokuskan pada perlunya menumbuhkan atau membangun saling pengertian, toleransi, kebersamaan, kerukunan, kerja sama, dan kooperasi di dalam bingkai semangat multikultural(isme) dan pluralis(me). Untuk itu, pertama-tama diuraikan “kodrat” keberadaan masya-rakat dan kebudayaan, hubungan masyarakat dengan kebudayaan, dan karakteristik utama masyarakat dan kebudayaan. Setelah itu, secara ringkas diuraikan panorama kemajemukan dan keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan (di) Indonesia. Berdasarkan hal itu, selanjutnya diuraikan ihwal pentingnya menumbuhkan, membangun, dan memperkuat semangat multikul-turalisme dan pluralisme; dan juga perlunya membangun saling pengertian, toleransi, kebersamaan, kerukunan, kerja sama, dan kooperasi dalam bingkai semangat multikulturalisme dan pluralisme tersebut. Adapun bagian akhir tulisan ini mencoba menguraikan perlunya kemampuan belajar hidup bersama (learning to live together) di tengah-tengah multikulturalisme dan pluralisme yang penuh perbedaan di samping persamaan. Dalam hubungan ini diuraikan pula perlunya semangat dan tindakan melakukan perantauan budaya (passing over), pemahaman lintas budaya (cross cultural understanding), dan pembelajaran lintas budaya (learning a cross culture) sebagai piranti belajar hidup bersama. Dengan uraian-uraian tersebut diharapkan dapat diketahui betapa pentingnya kita membangun, mengembangkan, dan mengimplementasikan suatu filsafat kebudayaan – bahkan teologi kebudayaan -- multikultural dan pluralistis – lebih daripada sekadar filsafat dan teologi kebudayaan yang inklusif – Dengan demi-kian, pada satu sisi, keinginan hidup damai di tengah kemajemukan dan keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan mendapat landasan yang kukuh-mantap, sedang pada sisi lain kemajemukan dan keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan (di) Indonesia menjadi rahmat bagi semua, bukan menjadi bencana dan celaka, yang memperat kebangsaan dan keindonesiaan kita. Semua uraian diusahakan ringkas, praktis, dan sederhana.
HUBUNGAN MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN
Supaya uraian tetap praktis dan sederhana – tidak bertakik-takik dan terlihat terlalu akademis – dalam tulisan ini tampaknya tidak perlu dikemukakan atau dirumuskan secara khusus-teknis pengertian atau konsepsi masyarakat dan kebudayaan. Cukup dikatakan di sini bahwa masyarakat dan kebudayaan bukan merupakan gejala alamiah dan berian alam (semesta) yang ada dengan sendirinya. Masyarakat dan kebudayaan pertama-tama merupakan gejala buatan atau bentukan manusia dalam hidup dan kehidupan. Maksudnya, masyarakat dan kebudayaan itu ada (eksis, menggejala) karena memang dibentuk atau dikonstruksi oleh manusia untuk kebutuhan mempertahankan, melangsungkan, dan mengembangkan hidup dan kehidupan mereka. Sebagai contoh, masya-rakat dan kebudayaan Madura atau Melayu itu ada karena memang dibentuk oleh sehimpunan manusia [yang kemudian kita sebut orang Madura atau Melayu] dalam rangka mempertahankan, melangsungkan, dan mengembangkan hidup dan kehidupan mereka. Ini menunjukkan bahwa masyarakat dan kebudayaan pertama-tama merupakan fakta kemanusiaan, bukan fakta kealaman dan kebendaan; maksudnya, ma-syarakat dan kebudayaan itu pertama-tama merupakan gejala manu-siawi, bukan gejala alam dan artefak.
Masyarakat dan kebudayaan – apapun dan manapun – selalu didasari dan ditandai oleh adanya kebersamaan, keterikatan bersama, kesepakatan bersama, dan [mungkin yang terpenting] keterlembagaan. Tanpa hadirnya kebersamaan, keterikatan, kesepakatan, dan keterlem-bagaan secara serempak [simultan] dan terpadu [integratif] niscaya tak akan terbentuk masyarakat dan kebudayaan. Jika kumpulan manusia hanya memiliki kebersamaan, apalagi kebersamaan secara kebetulan dan sesaat [momentan], tanpa ada keterikatan, kesepakatan, dan ke-terlembagaan, maka mereka hanya dapat disebut kerumunan (crowd) dan massa, bukan masyarakat. Kumpulan manusia yang sedang me-nonton sepakbola atau berdemonstrasi, misalnya, jelas tidak dapat disebut sebagai masyarakat, hanya dapat disebut sebagai massa atau kerumunan karena kebersamaan mereka tidak terlembaga secara mantap dengan ikatan dan kesepakatan tertentu. Demikian juga jika pelbagai [proses dan hasil] olah tubuh, olah pikir, olah rasa, olah jiwa, olah batin, dan atau olah sukma manusia tidak terlembaga secara bersis-tem, tidak menjadi kesepakatan antar-manusia, dan tidak mengikat antarmanusia secara bersama, maka semua hal tersebut tidak dapat di-sebut sebagai kebudayaan; mungkin cukup disebut [proses dan hasil] kegiatan manusia. Ini semua menunjukkan bahwa kebersamaan, keterikatan, kesepakatan, dan keterlembagaan menjadi conditio sine qua non, prasyarat yang perlu ada, bagi keberadaan [eksistensi] masyarakat dan kebudayaan.
Masyarakat dan kebudayaan sesungguhnya saling memprakondisikan. Maksudnya, masyarakat menjadi conditio sine qua non bagi keber-adaan kebudayaan; demikian juga kebudayaan menjadi conditio sine qua non bagi keberadaan masyarakat. Tanpa kebudayaan, niscaya ma-syarakat tidak mungkin ada, atau setidaknya mampu bertahan lama. Tanpa masyarakat, niscaya kebudayaan tidak mungkin ada, atau setidaknya segera punah. Hal ini mengimplikasikan bahwa masyarakat dan kebudayaan saling ada bersama (berkoeksistensi), saling berhubungan secara bermutu (bersimbiose mutualisme), saling bergantung, tidak dapat saling diceraikan, dan tidak dapat saling ditiadakan salah satu. Tidak ada masyarakat dapat mempertahankan, melangsungkan, dan mengembangkan hidup mereka tanpa kebudayaan. Demikian juga tidak ada kebudayaan dapat hidup dan berkembang tanpa masyarakat. Suatu masyarakat bakal mati tanpa kebudayaan. Demikian juga suatu kebudayaan bakal musnah tanpa masyarakat. Sudah banyak contoh sejarah yang dapat kita jadikan bukti, misalnya kebudayaan Romawi, Indus, Aztek, dan Hawai. Kebudayaan Romawi, Indus, Aztek, dan Hawai tenggelam, hancur, mati, dan bahkan punah karena kehilangan masya-rakat pendukung atau pemangkunya – tanpa mampu mendapatkan alternatif pemangku baru; tetapi, demikian juga, masyarakat Romawi, Indus, Aztek, dan Hawai tenggelam, hancur, dan bahkan mati karena kehilangan kebudayaannya – tanpa mampu mendapatkan kebudayaan lain. Jadi, sangat sulit membayangkan [keberadaan] masyarakat tanpa [kehadiran] kebudayaan dan – sebaliknya – [keberadaan] kebudayaan tanpa [kehadiran] masyarakat.
Kendati demikian, harus dipahami, satu masyarakat tidak selalu hanya memangku dan menganut satu (rumpun, jenis, atau nebula) kebudayaan, yaitu kebudayaan asli, lokal, atau etnis milik mereka. Dalam kenyataan dewasa ini, satu masyarakat sering memangku dan menganut dua atau lebih kebudayaan, yaitu kebudayaan asli milik mereka dan satu lagi kebudayaan yang datang kepada mereka. Masyarakat suku Wana [yang ada atau mukim di perdalaman Sulawesi] mungkin hanya memangku dan menganut satu kebudayaan, yaitu kebudayaan Wana. Namun, sebagai akibat modernisasi dan nasionali-sasi atau Indonesianisasi, masyarakat suku Wana sekarang juga telah memangku dan menganut kebudayaan bangsa Indonesia, sekalipun mungkin dipaksakan kepada mereka, terpaksa mereka lakukan atau tidak secara sadar mereka lakukan. Sekarang masyarakat santri Jawa paling tidak memangku dan menganut tiga nebula kebudayaan, yaitu kebudayaan keagamaan [baca: keislaman] mereka, kebudayaan bangsa Indonesia, dan kebudayaan lokal Jawa. Di sini menjadi jelas pula bahwa pelbagai kebudayaan yang dipangku, dihayati, dan dianut serta dihidupi oleh satu masyartakat dapat berasal dari luar komunitas ma-syarakat mereka, tidak selalu kebudayaan yang berasal dari komunitas masyarakat mereka. Hal ini menyiratkan bahwa multikulturalisme dan pluralisme merupakan keniscayaan kebudayaan dan masyarakat.
KEMAJEMUKAN MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN
Secara deduktif dapat dikatakan di sini bahwa masyarakat dan kebudayaan (di) Indonesia sangat majemuk dan beraneka ragam; jadi, derajat kemajemukan dan keanekaragaman masyarakat dan kebudaya-an (di) Indonesia sangat tinggi. Kemajemukan dan keanekaragaman tersebut dapat dilihat atau dipetakan dari pelbagai perspektif, di antaranya perspektif antropologis, sosiologis, kultural, dan historis, bahkan juga keberaksaraan dan kadar rasionalitas.
Berdasarkan perspektif antropologis, masyarakat (di) Indonesia dapat berupa atau berwujud (i) komunitas-komunitas masyarakat kesukuan-lokal-asli [etnis-tribal] seperti masyarakat Jawa, Madura, Sunda, Bali, dan Sasak serta Bima, (ii) komunitas-komunitas masya-rakat peranakan seperti Peranakan Tionghoa, Indo-Belanda/Eropa, dan campuran-campuran lain yang makin lama makin banyak, dan (iii) komunitas-komunitas masyarakat asing (atau dari luar) seperti masyarakat Arab, India, Cina, Tamil, dan Eropa – yang bisa jadi sudah turun-temurun berdiam di wilayah Indonesia. Dalam kenya-taan hidup dan kehidupan, pelbagai masyarakat tersebut dapat berinteraksi dan dapat pula tidak; dapat membentuk jaringan dan dapat pula; secara bersama dapat membangun kantong permukiman [inklusif] dan dapat pula membangun kantong permukiman secara terpisah-pisah [eksklusif]. Selanjutnya, secara antropologis, kebuda-yaan (di) Indonesia dapat berupa atau berwujud (i) kebudayaan kesukuan-lokal-asli seperti kebudayaan Dayak, Mandar, Bajo, Badui, Ekagi, Dani, dan Bugis, (ii) kebudayaan campuran [mestizo] seperti kebudayaan Indis, kebudayaan Peranakan Tionghoa Indo-nesia, dan kebudayaan Hindia-Belanda, dan (iii) kebudayaan asing atau dari luar Indonesia seperti kebudayaan Arab, India, Cina, dan Barat. Berkat teknologi komunikasi, mobilitas keruangan masyarakat, prasarana fisikal, dan “tangan-tangan perkasa” negara dan bangsa Indonesia, pelbagai jenis atau nebula kebudayaan tersebut dapat berinteraksi meskipun tidak semua.
Berdasarkan perspektif sosiologis masyarakat Indonesia dapat berupa (i) masyarakat perdesaan dan perkotaan, (ii) masyarakat perda-laman dan pesisiran, (iii) masyarakat darat[an] dan masyarakat pantai, (iv) masyarakat agraris, industrial, dan informasi, dan (v) masyarakat kelas atas, menengah, dan bawah. Perbedaan masyarakat tersebut bisa tipis atau sedikit, dapat pula tebal atau besar. Misalnya, perbedaan antara masyarakat perdesaan dan perkotaan di Pulau Jawa bisa jadi tipis akibat keterbukaan wilayah desa dan kota, interaksi masyarakat perdesaan dan perkotaan, dan terpaan komu-nikasi nasional atau global. Akan tetapi, perbedaan antara masyarakat agraris [pertanian], industrial [perpabrikan], dan informasi [pengetahuan] mungkin sekali sangat besar atau tebal akibat sejarah kemunculan, penyangga utama, dan watak dasar mereka. Di samping itu, secara sosiologis pula, kebudayaan (di) Indonesia dapat berupa atau berwujud (i) kebudayaan perdesaan dan perkotaan, (ii) kebudayaan perdalaman dan pesisiran, (iii) kebudayaan darat[an]-hutan dan pantai-laut, (iv) kebudayaan agraris, industrial, dan informasi, dan (iv) kebudayaan tinggi (tradisi besar), kebudayaan populer, dan kebudayaan rakyat (tradisi kecil). Meskipun bertemu dan berinteraksi, bahkan mem-pengaruhi, masing-masing jenis dan nebula kebudayaan tersebut tetap memiliki perbedaan khas yang menjadi watak dan karakteristik kebudayaan tersebut – tentu saja ada juga persamaan tertentu.
Berdasarkan perspektif kultural, masyarakat (di) Indonesia dapat dipetakan dari segi religiokultural dan sosiokultural. Dari segi reli-giokultural, masyarakat (di) Indonesia dapat berupa komunitas (i) masyarakat santri dan (ii) masyarakat abangan. Sekalipun berbeda, kedua masyarakat itu tidak jarang berinteraksi intensif dan bersimbiose mutualisme dalam kehidupan sehari-hari meskipun menurut Geertz selalu bersitegang. Kemudian dari segi sosiokultural, masyarakat (di) Indonesia dapat berupa komunitas (i) masyarakat priyayi dan atau bangsawan dan (ii) masyarakat kecil/rakyat kebanyakan. Meskipun terjadi interaksi atau hubungan intensif yang tentu saja hierarkis atau bertingkat, kedua masyarakat itu tetap mempertahankan karakteristik masing-masing. Sampai sekarang jarak perbedaan keduanya tetap besar dibandingkan dengan persa-maan yang ada. Sementara itu, secara kultural pula, kebudayaan (di) Indonesia dapat berwujud nebula (i) kebudayaan santri, (ii) kebudayaan abangan, (iii) kebudayaan tradisi besar atau priyayi dan bangsawan, dan (iv) kebudayaan tradisi kecil atau rakyat keba-nyakan. Kebudayaan (i) dan (ii) bersifat religiokultural, sedang kebudayaan (iii) dan (iv) bersifat sosiokultural. Keempat nebula kebudayaan tersebut memang saling bertemu, berinteraksi, dan bersinggungan, bahkan mungkin saling memperkaya, tetapi perbedaan masing-masing masih tetap tegas-kuat dibanding-kan persamaan keempatnya. Oleh karena itu, karakteristik masing-masing nebula kebudayaan tersebut tetap mantap, sedikit pun tidak buram.
Berdasarkan perspektif historis-kronologis, masyarakat (di) Indone-sia dapat berupa komunitas (i) masyarakat zaman pra-Hindu-Budha, (ii) masyarakat zaman Hindu-Budha, (iii) masyarakat zaman [peng-aruh] Cina, (iv) masyarakat zaman Arab-Islam, dan (iv) masyarakat zaman Barat-Nasrani [Portugis, Belanda, Inggris, dan Amerika]. Secara kronologis, kurun waktu hidup keempat masyarakat tersebut memang berbeda. Namun, kenyataan membuktikan bahwa timbul-nya masyarakat Hindu-Budha ternyata tidak seratus persen atau total menggantikan masyarakat pra-Hindu-Budha; timbulnya ma-syarakat zaman Cina tidak otomatis menggantikan masyarakat Hindu-Budha; timbulnya masyarakat zaman Arab-Islam tidak serta merta menggantikan ma-syarakat zaman Hindu-Budha dan Cina; demikian juga timbulanya masyarakat zaman [pengaruh] Barat tidak seratus persen menggusur masyarakat zaman pra-Hindu-Budha, Hindu-Budha, Cina, dan Arab-Islam. Sampai sekarang ternyata pel-bagai komunitas masyarakat tersebut tetap ada [hidup] meskipun populasi dan domisilasinya tidak sama. Sementara itu, secara histo-ris-kronologis pula, kebudayaan (di) Indonesia dapat berupa atau bewujud (i) kebudayaan zaman pra-Hindu-Budha, (ii) kebudayaan zaman Hindu-Budha, (iii) kebudayaan zaman Cina, (iv) kebudayaan zaman Arab-Islam, dan (v) zaman Barat-Nasrani. Secara kronologis, masing-masing kebudayaan itu memang hidup dalam kurun waktu berbeda. Namun, kenyataan membuktikan bahwa timbulnya satu nebula kebudayaan tidak otomatis menggantikan atau menggusur nebula kebudayaan yang lain karena pendukungnya masih ada; timbulnya kebudayaan Arab-Islam ternyata tidak menggusur secara total kebudayaan Hindu-Budha dan Cina karena pendukung kebu-dayaan Hindu-Budha dan Cina tetap ada. Ini semua mengimplika-sikan bahwa kelima nebula kebudayaan tersebut masih hidup berdampingan secara damai.
Berdasarkan tahap pencapaian keberaksaraan, masyarakat (di) Indonesia dapat berupa (i) masyarakat lisan, (ii) masyarakat manuskrip atau naskah, (iii) masyarakat beraksara, dan (iv) masya-rakat lisan sekunder. Kemunculan masing-masing masyarakat tersebut tidak sama atau kronologis. Meskipun demikian, terbukti timbulnya satu jenis masyarakat menggantikan secara total jenis masyarakat lain. Timbulnya masyarakat beraksara tidak meng-gantikan secara total masyarakat lisan. Sementara itu, berdasarkan tahap pencapaian keberaksaraan, kebudayaan (di) Indonesia dapat berupa (i) kebudayaan lisan, (ii) kebudayaan manuskrip atau nas-kah, (iii) kebudayaan tulis atau beraksara, dan (iv) kebudayaan lisan sekunder. Pada mulanya kemunculan keempat kebudayaan tersebut berurutan atau kronologis. Meskipun demikian, kemunculan satu nebula kebudayaan terbukti tidak mengusur nebula kebudayaan se-belumnya; munculnya kebudayaan tulis ternyata tidak mematikan kebudayaan lisan. Oleh karena itu, tidak mengherankan, keempat nebula kebudayaan tersebut masih sama-sama hidup berdampingan meskipun pendukung masing-masing tidak sama.
Berdasarkan kadar rasionalitas atau taraf kesadaran berpikir, masyarakat (di) Indonesia dapat berwujud (i) masyarakat mitis, (ii) masyarakat ontologis, dan (iii) masyarakat fungsional. Demikian juga, berdasarkan taraf kesadaran berpikir, kebudayaan (di) Indonesia dapat berwujud (i) kebudayaan mitis, (ii) kebudayaan ontologis, dan (iii) kebudayaan fungsional. Menurut van Peursen, kemunculan ma-syarakat dan kebudayaan tersebut bersifat kronologis: mitis dulu, kemudian ontologis, dan terakhir fungsional. Meskipun demikian, kenyataan membuktikan bahwa ketiga jenis atau nebula masyarakat dan kebudayaan tersebut tetap ada (eksis) sampai sekarang. Sebagi-an masyarakat perdalaman Kalimantan dan Irian, misalnya, sampai sekarang masih termasuk masyarakat mitis. Kebudayaan mereka juga masih merupakan kebudayaan mitis. Tetapi, sebagian besar masyarakat perkotaan merupakan masyarakat ontologis. Kebudaya-an mereka juga merupakan kebudayaan ontologis. Bahkan sebagian besar masyarakat dan kebudayaan di kota-kota besar sudah menjadi masyarakat dan kebudayaan fungsional.
Uraian di atas menunjukkan betapa luar biasa kemajemukan dan keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan (di) Indonesia. Kemaje-mukan dan keanekaragaman tersebut rasanya mustahil ditunggalkan, diseragamankan, dihancurkan, dan dimatikan meskipun dapat ditolak, disembunyikan, dan diingkari. Selain membutuhkan waktu ratusan ta-hun [ingat: usaha Belanda!], setiap usaha penunggalan, penyeragaman, penghancuran, dan pembunuhan kemajemukan dan keanekaragaman niscaya akan sia-sia sekalipun segala daya, kuasa, upaya, cara, akal, dan siasat sudah digunakan atau dikerahkan. Sebagai contoh, segenap kuasa dan siasat Orde Baru melakukan penunggalan dan penyeragaman masyarakat dan kebudayaan (di) Indonesia dapat dikatakan gagal. Rekayasa masyarakat dan kebudayaan oleh Orde Baru ternyata menim-bulkan arus balik yang sedemikian besar yang pada akhirnya menum-bangkan dirinya sendiri. Meskipun di sana-sini hancur atau tepatnya rusak, misalnya anasir masyarakat dan kebudayaan Dayak yang terpu-sat pada rumah panjang bisa dikatakan hancur atau rusak, tetapi masyarakat dan kebudayaan Dayak tidak benar-benar hancur, apalagi mati. Hal ini mengimplikasikan bahwa kemajemukan dan keanekara-gaman masyarakat dan kebudayaan (di) Indonesia merupakan kenyata-an sekaligus keniscayaan yang harus diakui, diterima, dikelola, dijaga, dan dikembangkan secara baik dan sungguh-sungguh; tidak perlu dirusak, dihancurkan, apalagi dimusnahkan. Kita perlu melestarikan dan mengembangkan kemajemukan dan keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan (di) Indonesia. Kemajemukan dan keanekaragaman itu ibarat taman bunga mahaluas yang berisi warna-warni bunga yang luar biasa yang perlu dipelihara.
Pernyataan tersebut tidak berarti [kita] menolak dinamika-per-ubahan masyarakat dan kebudayaan (di) Indonesia pada satu pihak dan pada pihak lain mengagungkan kemandekan-kestatisan masyara-kat dan kebudayaan (di) Indonesia. Watak dasar masyarakat dan kebudayaan itu dinamis dan berubah, bukan mandek dan statis. Ke-mandekan dan kestatisan justru “musuh” atau setidak-tidaknya ba-nyak menimbulkan permasalahan bagi masyarakat dan kebudayaan – termasuk masyarakat dan kebudayaan (di) Indonesia. Oleh sebab itu, harus disadari dengan baik bahwa kemajemukan dan keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan (di) Indonesia selalu mengalami dinamika dan dialektika yang demikian kompleks dan rumit di samping persing-gungan dan persilangan yang kompleks. Lebih lanjut, hal ini mengim-plikasikan bahwa transformasi masyarakat dan kebudayaan merupa-kan keniscayaan masyarakat dan kebudayaan (di) Indonesia guna men-jawab tantangan dan kebutuhan yang ada. Di sinilah diperlukan kemampuan mengelola dan mengarahkan [proses dan hasil] transformasi sehingga dapat diwujudkan kemantapan masyarakat dan kebudayaan (di) Indonesia. Dalam masyarakat dan kebudayaan (di) Indonesia yang sangat majemuk dan beraneka ragam kegagalan mengelola transformasi pastilah menimbulkan sangat banyak masalah, di antaranya involusi tidak berkesudahan, disintegrasi berkepanjangan, deinstitusionalisasi berpanjangan, dan dekonstruksi berkepanjangan masyarakat dan ke-budayaan. Dalam perspektif ini, segala pertikaian, pertentangan, per-benturan, dan atau konflik yang terjadi selama ini merupakan cerminan kegagalan kita mengelola dan mengarahkan transformasi kemajemukan dan keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan (di) Indonesia.
PENTINGNYA SEMANGAT MULTIKULTURAL(ISME)
Di tengah-tengah kemajemukan dan keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan (di) Indonesia yang demikian kompleks dan rumit – dan transformasinya gagal kita kelola dengan baik – pilihan terbaik kita bukanlah menunggalkan dan menyeragamkannya supaya kita dapat hidup di dalamnya. Pilihan terbaik kita adalah berusaha semaksimal mungkin untuk hidup damai yang penuh rahmat di tengah kemajemukan dan keanekaragaman tersebut. Ini tantangan dan tugas yang harus kita atasi dan kerjakan. Untuk itu, kita memang harus menumbuhkan dan membangun semangat multikulturalisme dan pluralisme secara sungguh-sungguh. Dengan kata lain, agar dapat hidup damai di tengah kemajemukan dan keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan (di) Indonesia kita harus membangun semangat multikultural(isme) dan pluralis(me) – bahkan jika perlu kita harus membangun suatu filsafat dan teologi masyarakat dan kebudayaan yang multikultural dan plural. Jadi, multikulturalisme dan pluralisme perlu kita yakini sebagai fondasi atau pilar hidup damai yang penuh rahmat dan selamat di te-ngah kemajemukan dan keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan (di) Indonesia.
Harus diakui dengan jujur, tidak mudah membangun semangat – apalagi filsafat dan teologi – multikulturalisme dan pluralisme di tengah masyarakat dan kebudayaan majemuk dan aneka ragam yang transfor-masinya tidak berlangsung dengan mulus dan baik. Meskipun demikian, hal tersebut bukan berarti tertutup peluang terciptanya semangat multikulturalisme dan pluralisme yang bermutu. Semangat multikulturalisme dan pluralisme dapat kita bangun jika kita mampu membangun sekaligus mewujudkan [dalam hidup dan kehidupan kita] kebersamaan di tengah perbedaan, toleransi berhadapan dengan perbedaan, dan saling pengertian di tengah perbedaan. Kebersamaan di tengah perbedaan dapat kita wujudkan jika kita bisa menghilangkan prasangka dan stereotipe sosial dan kultural tertentu; menghilangkan pandangan sebagai yang terunggul dan terbaik; di samping kita bisa menyadari betapa pentingnya kebersamaan bagi hidup setiap manusia sebab ke-sendirian [lonelyness) justru mematikan manusia. Toleransi [tenggang rasa] di dalam perbedaan dapat diwujudkan jika kita mampu menghindari sikap dan tindakan memutlakkan segala sesuatu; mampu menghilangkan perasaan paling benar dan baik; mampu mengetahui atau melihat kebenaran dan kebaikan pihak lain; mampu menghargai perbeda-an yang dimiliki oleh pihak lain; mampu menerima adanya perbedaan atau karakteristik tertentu pihak lain; mampu mengembangkan sikap dan tindakan tolong-menolong dengan pihak lain; dan mampu mengem-bangkan wawasan ketenggangrasaan dalam perbedaan. Adapun saling pengertian bermutu di tengah perbedaan [mutual understanding] dapat kita wujudkan jika kita mampu menghilangkan prasangka-prasangka; mampu menghapus stereotipe-stereotipe yang sudah mengakar; mam-pu menghormati-menghargai watak dan karakteristik pihak lain; mam-pu menciptakan komitmen bersama; mampu mewujudkan kesepakatan bersama. Upaya membangun kebersamaan, toleransi, dan saling peng-ertian tersebut makin mudah jika semua pihak terikat atau terpayungi oleh misi dan visi bersama yang jelas.
BELAJAR HIDUP BERSAMA DALAM MULTIKULTURALISME
Semangat multikulturalisme dan pluralisme dengan dasar kebersamaan, toleransi, dan saling pengertian di atas merupakan proses terus-menerus, bukan proses sekali jadi dan sesudah itu berhenti. Di sinilah setiap komunitas masyarakat dan nebula kebudayaan dituntut untuk belajar terus-menerus atau belajar berkelanjutan – termasuk kita harus belajar berlanjutan supaya semangat multikulturalisme dan pluralisme dapat berkembang dan terpelihara dengan baik. Proses pembelajaran semangat multikulturalisme dan pluralisme harus terus-menerus dan berkesinambungan dilakukan. Untuk itu, penting kita miliki dan kem-bangkan kemampuan belajar hidup bersama [learning to live together] dalam multikulturalisme dan pluralisme masyarakat dan kebudayaan (di) Indonesia. Dikatakan demikian karena kemampuan belajar hidup bersama di dalam perbedaan inilah yang mempertahankan, bahkan mungkin menyelamatkan semangat multikulturalisme dan pluralisme. Tanpa kemampuan belajar hidup bersama yang memadai dan tinggi, niscaya semangat multikulturalisme dan pluralisme akan meredup, ti-dak mustahil akan mati suri. Sebaliknya, kemampuan belajar hidup bersama yang memadai dan tinggi akan menghidupkan dan memfung-sionalkan semangat multikulturalisme dan pluralisme.
Proses pembelajaran semangat multikulturalisme dan pluralisme atau kemampuan belajar hidup bersama di tengah perbedaan dapat dibentuk, dipupuk, dan atau dikembangkan dengan kegiatan, keberanian, dan kegemaran melakukan perantauan budaya [cultural passing over], pemahaman lintas budaya [cross cultural understanding], dan pembelajaran lintas budaya [learning a cross culture].
Kita yang berasal dari suatu komunitas masyarakat dan nebula kebudayaan harus berani melakukan perantauan ke dalam komunitas masyarakat dan nebula kebudayaan lain untuk kemudian pulang kembali [coming back] ke dalam komunitas masyarakat dan nebula kebudayaan kita sendiri. Dengan cara perantauan budaya ini diha-rapkan terjadi pencerahan sekaligus pemerkayaan komunitas ma-syarakat dan nebula kebudayaan kita sendiri. Ibaratnya komunitas masyarakat dan nebula kebudayaan kita memperoleh darah segar yang menyehatkan.
Di samping itu, kita yang berasal dari satu komunitas masyarakat dan nebula kebudayaan harus mampu memahami dengan baik ko-munitas masyarakat dan nebula kebudayaan lain – kalau bisa de-ngan ukuran-ukuran yang lebih besar dan luas daripada ukuran-ukuran masyarakat dan kebudayaan kita. Ibaratnya kita perlu mem-buat ukuran baju lain untuk mengukur tubuh orang lain – jangan menggunakan ukuran baju kita sendiri sebab belum tentu cocok. Ini membuat pemahaman lintas budaya kita mampu memberikan pen-cerahan, penyegaran, dan pemerkayaan komunitas masyarakat dan nebula kebudayaan [milik] kita sendiri di samping mampu membe-rikan penghargaan dan penghormatan kepada komunitas masyara-kat dan nebula kebudayaan lain.
Selanjutnya, kita yang berasal dari satu komunitas masyarakat dan nebula kebudayaan harus mampu melakukan proses pembelajaran yang melibatkan atau menjangkau komunitas masyarakat dan ne-bula kebudayaan lain. Kita harus berani belajar di luar komunitas masyarakat dan nebula kebudayaan kita. Ibaratnya kita yang berasal dari Malang harus berani belajar suatu bidang [sebutlah agama Islam] di perguruan tinggi luar Malang [sebutlah IAIN Sunan Ampel atau Syarif Hidayatullah], bukan di perguruan tinggi Malang [sebutlah STAIN Malang]. Dengan pembelajaran lintas budaya ini kita akan mengerti, memaklumi, dan menghormati perbedaan-perbedaan ko-munitas masyarakat dan nebula kebudayaan.
Jika ketiga kegiatan tersebut berhasil dilaksanakan, maka kemampuan kita untuk hidup bersama di tengah perbedaan akan meningkat dan kuat. Proses pembelajaran semangat multikulturalisme dan pluralisme pun dapat bermakna. Dengan demikian, semangat multikulturalisme dan pluralisme dapat bertahan dan berkembang.
0 komentar:
Posting Komentar